Oleh : Asikin Hidayat
Tinjauan Historis.
R. Tjetjep Supriadi dalam makalah yang disajikannya pada Saresehan Seni Pedalangan Wayang Golek Sunda tahun 1999 dengan mengutip pernyataan Sri Mulyono, menyatakan bahwa wayang sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu. Artinya wayang sudah digemari orang sejak tahun 1500 SM.
Di Indonesia wayang golek berkembang sejak agama Hindu masuk. Ini terbukti bahwa cerita yang dibawakan dalam wayang golek diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana yang dibawa oleh orang-orang Hindu dari India. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa wayang berasal dari India. Wayang dengan peralatannya yang sederhana, dipastikan berasal dari Indonesia dan ciptaan asli bangsa Indonesia.
Selama dalam pertumbuhannya, wayang mengalami banyak perubahan dan pembaharuan-pembaharuan. Keberadaan wayang di masyarakat berfungsi sebagai media hiburan, media upacara (ngaruat, dsb), alat tranformasi informasi, alat pendidikan, alat penerangan, penyuluhan, dan bahkan kini menjadi obyek ilmiah.
Ketika agama Islam masuk, wayang menjadi media dakwah yang cukup efektif. Wali Sanga memanfaatkan wayang sebagai media penyebaran agama Islam di pelosok Pulau Jawa.
Wayang golek bentuknya lebih sempurna dibandingkan wayang kulit, karena memiliki unsur tiga dimensi. Wayang golek dapat dimainkan siang hari, tidak memerlukan blencong seperti pada pertunjukan wayang kulit.
Di Majaléngka wayang golek berkembang sejak tahun 1950-an. Beberapa orang Majaléngka sempat berguru kepada dalang-dalang wayang golek di Priangan (Sumedang dan Bandung). Salah seorang di antaranya adalah Komar Sonjaya dari Dukuhbitung, Kadipaten, yang berguru kepada Sapaat Suwanda di Soreang, Bandung.
Komar Sonjaya mendirikan kelompok seni wayang golek dengan nama Budi Daya. Setelah itu bermunculan dalang wayang golek di Majaléngka yang pada gilirannya mencapai masa keemasan sekitar tahun 1970-an. Mereka antara lain : Ja’i Diharja (Dawuan), Lili Sutisna (Galuh Pakuan, Jatiwangi), Yono Supriyono (Ganda Mekar, Majaléngka), Sambik S.A Putra (Majaléngka), Tasdik Rohendi (Lurgeta I, Palasah), dan Momo Sudirja (Leuwisééng, Panyingkiran).
Waditra dan Tata Cara Pertunjukan
Waditra yang digunakan dalam pergelaran wayang golek adalah seperangkat gamelan salendro. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, para dalang mencoba berkreasi dengan memasukkan sisipan laras pelog dan sorog ke dalam wilahan gamelan, sehingga lagu-lagunya lebih variatif.
Waditra selengkapnya adalah : saron 1 dan 2, bonang indung, bonang rincik, peking, panerus, kenong, jengglong, gambang, gong, kempul, gendang, dan kulanter.
Bahan cerita dapat berbentuk lakon galur maupun lakon carangan. Lakon galur artinya lakon yang berpatokan kepada cerita sumber tanpa tambahan atau pengurangan. Sedangkan cerita carangan adalah cerita yang berpatokan kepada cerita sumber namun dengan penambahan-penambahan, dan bahkan berbentuk cerita yang baru.
Pergelaran wayang tersusun sebagai berikut :
1. tatalu
2. murwa
3. jejer
4. babak, unjal, paseban, bébégalan
5. nagara séjén,
6. patapan
7. perang gagalan
8. panakawan/goro-goro
9. perang kembang
10. perang campuh, dan
11. tutug.
Sepertinya urutan pertunjukan seperti di atas merupakan pakem yang baku dan harus diikuti oleh semua dalang dalam pertunjukannya. Walaupun semikian, paradigma berpikir kemudian mengalami perubahan. Asép Sunandar Sunarya dari Giri Harja III sering memulai pergelaran wayang dari tampilan panakawan.
Prospek dan Pembinaan
Prospek wayang golek Majaléngka agaknya untuk beberapa tahun ke depan masih mengalami kesulitan, karena masyarakat cenderung menyukai pergelaran wayang golek dengan nama besar dalangnya, antara lain Asép Sunandar Sunarya dari Bandung. Berbagai kelebihan mémang dimiliki oleh Asép Sunandar, baik dalam olah wayang maupun dalam tabuhan gamelan. Kreativitas akhirnya mémang diperlukan agar wayang golek tetap hidup. Asép Sunandar banyak digemari karena kreativitasnya yang tidak pernah berhenti.
Kiranya perlu dipikirkan oleh masyarakat pedalangan Majaléngka, bahwa jika ingin tetap berkibar, maka kreativitas harus ditingkatkan. Sedangkan indikasi untuk meningkatkan kualitas melalui kreativitas hingga saat ini di Majalengka belum tampak. Para dalang masih memainkan wayang secara tradisional, menurut pakem, dan hampir tanpa pembaharuan.
Binojakrama pedalangan wayang golek di Majaléngka pada tahun 2007 merupakan sebuah media agar kemudian para dalang mampu meningkatkan kualitas. Pada bulan Maret 2008 yang lalu diberangkatkan peserta binojakrama pedalangan wayang golek di Bandung, yaitu Dedi Surahman. Hasil yang didapat mémang belum cukup menggembirakan, namun terpilihnya alok terbaik atas nama Yoyo Sunarya dari Majalengka merupakan kebanggaan tersendiri.
Di kalangan generasi muda, pengenalan wayang memerlukan perhatian yang serius. Di sekolah wayang hanya sepintas saja dibahas dalam pelajaran Bahasa Sunda. Itu pun terbatas pada nama-nama lima orang Pandawa, sedangkan yang lain-lainnya tidak pernah disebut-sebut.
Beberapa dalang masih mencoba bertahan, antara lain :
1. Casman Sudaryat, Purnama Giri, Dawuan.
2. Omay Komara, Giri Mukti, Dawuan.
3. Ikin Tasdik Putra, Lurgeta II, Palasah
4. Dedi Tasdik Putra, Liurgeta III, Palasah.
5. Dedi Sudrajat. Gentra Tumaritis, Sindangwangi.
6. Mansur, Girijaya, Baribis, Cigasong.
7. Asép Koswara, Padahanten, Sukahaji,
8. Dedi Surahman, Margaluyu, Munjul, Majaléngka,
9. Nanang Sukma Mulya, Simbar Kencana, Sukamenak, Bantarujeg,
10. Aan Sutresna Suhaya Atmaja, Setia Bakti, Cisoka, Cikijing.
11. Didi Amung Sutarya, Jatipamor, Talaga,
12. Nono Sudrajat, Giri Cempaka, Tarikolot, Kulur, Majaléngka,
13. Momon S., Cicurug, Majaléngka,
14. Otong Suteja, Pancurendang Tonggoh, Majaléngka,
15. Encun, Baribis, Cigasong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar