---AHDA IMRAN
Pengantar (Asikin Hidayat) :
Naskah ini ditulis oleh Ahda Imran untuk disampaikan pada acara Seminar Pembelajaran Sastra di Majalengka pada bulan Oktober 2010 yang lalu. Selamat membaca)
SELAIN berfungsi sebagai penyebarluasan informasi, salah satu fungsi media-massa (cetak & elektronik) adalah menjadi mediasi berbagai ekpresi pemikiran masyarakat. Rubrik opini, artikel, dan feature merupakan ekspresi pemikiran masyarakat yang dimediasi atau disebarluaskan oleh media-massa (terutama surakabar dan majalah). Selain itu terdapat pula ragam tulisan kreatif yang umumnya diletakkan dalam rubrik budaya, seperti, puisi dan cerpen. Dengan fungsinya sebagai mediasi inilah sebuah karya tulis dari seorang penulis bertemu dengan pembacanya.
Tentu demikian pula halnya dengan karya sastra. Paling tidak sejak 1920-an, perkembangan karya sastra tak pernah lepas dari peran media, dalam hal ini suratkabar—selain juga penerbitan buku-buku yang ketika itu diterbitkan oleh Balai Poestaka. Dalam perkembangannya, bahkan sampai hari ini, suratkabar dan majalah merupakan media terdepan dalam pemasyarakatan karya sastra ke tengah masyarakat. Dengan kata lain, media massa mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra.
Di tengah kenyataan ini pantas rasanya diajukan semacam pertanyaan. Di tengah lemahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, termasuk juga dalam dunia pendidikan di sekolah-sekolah, di manakah peran dan tanggung jawab media massa?
Pertanyaan ini menarik karena sampai hari ini persoalan apresiasi sastra dalam dunia pendidikan rasanya tetap aktual untuk diperbincangkan. Meski ini sudah menjadi masalah lama dan berbagai upaya yang telah dilakukan—termasuk apa yang dilakukan oleh Taufiq Ismail dan Majalah Horison—persoalan pengajaran sastra tetaplah belum beranjak dari apa yang diharapkan. Karena itulah, peran media massa menjadi layak dipertanyakan.
**
REMAJA merupakan segmen pembaca potensial bagi media. Dengan kata lain mereka adalah pasar yang ujung-ujungnya bisa meraup iklan. Karena itulah tak sedikit media yang mengkhusukan dirinya bagi segmen remaja. Dengan mudah kita bisa menyebut sejumlah majalah remaja, dari mulai Gadis, Kawanku, Hai, juga beberapa tabloid remaja. Jauh ke belakang orang bisa menyebut majalah Nona atau yang mengkhususkan pada kumpulan cerpen remaja seperti Anita Cemerlang.
Sebagai majalah remaja, bisa dimaklumi jika media-media tersebut cenderung memanjakan selera remaja yang serba berbau pop. Terutama fesyen dan gaya hidup. Demikian pula dengan cerpen-cerpennya. Tapi hingga awal tahun 1990-an, majalah-majalah remaja itu masih menyisakan sesuatu yang berbeda, yakni, rubrik puisi. Di sebut berbeda karena rubrik ini sangat nyastra. Di majalah-majalah remaja itu sering dijumpai sajak-sajak sejumlah penyair—yang ketika sudah terbilang bukan lagi remaja; mulai dari Ahmad Syubbanuddin Alwy, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Isbedy Stiawan, Wahyu Prasetya, dan sejumlah penyair lainnya.
Sejumlah koran juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan majalah remaja, koran-koran umum menyediakan halaman remaja dengan berbagai artikel juga puisi. Di Bandung, Harian Pikiran Rakyat (PR), misalnya, menyediakan rubrik cerpen setiap pekan. Cerpen yang dimuat disertai ulasan pendek yang bisa menjadi bekal pembaca untuk mengapresiasinya. Meski rubrik itu bukan dikhususkan untuk remaja, tapi strategi itu sangat menarik bagi peningkatan apresiasi remaja pada karya sastra.
Demikian pula dengan rubrik puisi “Pertemuan Kecil” yang diasuh oleh Saini K.M. Selain memuat puisi-puisi para penyair muda setiap pekannya, rubrik ini juga menyediakan tulisan Saini K.M. ihwal puisi dan kepenyairan. Jauh ke belakang di tahun 1950-an harian ini memiliki rubrik “Kuntum Mekar”. Sebuah rubrik remaja yang berminat dalam dunia tulis menulis.
Itu dulu. Sekarang sudah banyak yang berubah, meski remaja tetaplah menjadi segmen yang tak bisa diabaikan dalam bisnis media. Perubahan yang terjadi adalah tak ada lagi rubrik-rubrik puisi dalam majalah-majalah remaja. Demikian pula di suratkabar. Meski remaja mendapat keistimewaan dalam porsi suratkabar, tapi isi di dalamnya bisa disebut tidak lagi memberi tempat pada apresiasi sastra. Sebutlah, Kompas dan PR. Kedua koran besar ini memanjakan pembaca remajanya dengan suplemen 4 halaman—Kompas Muda (Kompas), Belia (PR).
Tapi dengan mengambil contoh suplemen remaja di dua koran besar ini, kita melihat dan bisa menyebut tak adanya ruang bagi apresiasi sastra remaja. Jangan lagi rubrik cerpen atau puisi, pembahasan tentang karya sastra saja nyaris tak pernah ada. Seolah-olah sastra bukanlah hal yang menjadi urusan remaja. Akhirnya, apresiasi sastra lebih dibebankan pada rubrik budaya yang biasanya muncul di hari Minggu. Dan tentu saja rubrik umum itu terasa terlalu jauh untuk apresiasi remaja.
Tentu saja banyak orang jadi bertanya kemudian, mengapa media terkesan abai pada kebutuhan remaja pada apresiasi sastra yang sesuai dengan kemampuannya?
Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja tersedia, jika kita memaklumi bahwa media sangat bergantung pada selera dan apa yang disukai pembacanya. Tak adanya rubrik sastra dan apresiasi sastra bagi remaja, bahkan di majalah atau di suplemen remaja suratkabar sekalipun, seakan menjelaskan bahwa remaja memang kurang berminat pada sastra. Paling tidak, dibanding informasi ihwal musik, fesyen, film, gaya hidup, dan pernak-pernik kehidupan remaja yang sedang ngtrend, sastra dan apresiasi sastra berada di urutan paling bawah. Sebenarnya tak hanya itu.
Bahkan di media mana pun, halaman budaya—termasuk di dalamnya puisi dan cerpen—merupakan halaman yang paling sedikit pembacanya. Halaman yang rugi dalam hitung dagang media, karena tak bisa menangguk iklan. Karena itulah, setiap kali sebuah media harus mengurangi halamannya, maka yang paling lebih dulu dikorbankan adalah rubrik budaya.
**
MENCIPTAKAN apresiasi remaja pada karya sastra tampaknya oleh para pengelola media bukan lagi dianggap sebagai tanggung jawab mereka secara langsung. Terlebih lagi, minat remaja pada apresiasi sastra kalah jauh oleh antusiasme mereka yang ingin menjadi penyanyi terkenal dan bintang sinetron. Dengan kata lain, remaja yang doyan sastra bukanlah pasar, dan menciptakan apresiasi remaja pada karya sastra bukanlah tanggung jawab media.
Argumen ini tentu sangat sulit dipahami. Tapi ada kenyataan yang memang tidak sesederhana yang kita duga. Soalnya tak cukup hanya berhenti pada kenyataan bahwa media pada akhirnya adalah sebuah corporate (perusahaan) yang mesti mengikuti selera dan minat terbesar yang ada dalam masyarakat. Melainkan juga kenyataan bahwa jangankan berharap pada apresiasi remaja terhadap karya sastra, sedang membaca itu sendiri belumlah menjadi tradisi apalagi kebutuhan bagi mereka.
Dengan kata lain, apresiasi remaja pada karya sastra mustahil berlangsung sepanjang remaja itu sendiri belum menjadikan aktivitas membaca sebagai kebutuhan. Terlebih di tengah revolusi informasi dan teknologi media seperti hari ini, yang membawa kita pada berbagai tontonan. Tak hanya televisi, internet, bahkan sebuah handphone pun menyediakan berbagai kecanggihan untuk ditonton. Di tengah ledakan gambar dan eforia masyarakat tontonan inilah, menonton jauh lebih penting sekaligus menjadi kebutuhan, ketimbang membaca.
Tapi apakah dengan begitu lantas media bisa disebut berlepas tangan? Tentu saja tidak. Sebab, pada fungsinya yang lain media massa juga berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya edukasi pada masyarakat pembacanya. Termasuk dalam hal peningkatan apresiasi sastra remaja.
Bahwa tak adanya lagi pemuatan cerpen dan puisi di halaman-halaman khusus remaja, bukanlah lantas dengan mudah kita menyebut bahwa media tidak lagi memiliki tanggung jawab tentang hal itu. Tanggung jawab yang dilakukan bukanlah mesti dengan secara langsung mengarah pada karya sastra dan ruang mengapresiasinya. Melainkan lebih pada menumbuhkan minat remaja pada membaca dan menulis. Tersedianya rubrik resensi buku dan redaksi yang menerima tulisan artikel para remaja baik dibaca sebagai bagian dari tanggung jawab tersebut.
Demikian pula dengan halaman atau suplemen budaya di hari Minggu. Meski tentunya amat berjarak untuk bisa disebut sebagai ruang apresiasi remaja, tapi paling tidak halaman budaya bisa mengantar minat para remaja untuk mengapresiasi karya sasta. Sekaligus ruang budaya inilah yang bisa juga dijadikan bekal apresiasi para guru bahasa Indonesia untuk menjadi bahan diskusi di ruang kelas.
Saya kira, media bukanlah satu-satunya kekuatan yang bisa meningkatkan apresiasi remaja pada karya sastra. Meski diakui media memiliki kesanggupan yang besar untuk memberi pengaruh, tapi dalam konteks apresiasi remaja pada karya sastra, akhirnya tetaplah berpulang pada kreativitas para guru bahasa Indonesia di depan kelas untuk menjadikan sastra sebagai pelajaran yang menyenangkan. Terlebih lagi di tengah kenyataan masyarakat tontonan hari ini. Betapa pun besarnya porsi apresiasi sastra yang disediakan oleh sebuah media, jika bapak/ibu gurunya sendiri lebih suka menonton sinetron ketimbang membaca karya sastra semuanya akan jadi percuma.
Cilame 4 November 2010
Ahda Imran, penyair dan esais.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar