OLEH MEMEN DURACHMAN
Pengantar (Asikin Hidayat)
Naskah ini ditulis oleh Memen Durahman untuk keperluan Seminar Sastra pada bulan Oktober 2010 yang lalu di Majalengka. Semoga bermanfaat)
1. Pendahuluan
Yang dimaksud dengan pendekatan folkloristik-semiotik adalah pendekatan pembelajaran sastra yang berlandaskan anggapan bahwa terdapat hubungan yang dialogis antara sastra modern dengan sastra lisan atau tradisi lisan dalam kerang ka pemahaman sastra sebagai tanda. Artinya, pembelajran sastra (modern) tidak memutus hubungan dengan tradisi sastra lisan (tradisi lisan umumnya), melainkan meletakkan keduanya dalam hubungan dialogis. Hubungan keduanya dibingkai dalam kerangka menempatkan sastra sebagai sistem tanda.
Hal itu mengindikasin pengajaran sastra (modern) di sekolah bukan sebagai pemutus tradisi sastra lisan yg terdapat di masyarakat. Justru pembelajaran sastra modern menjadi semacam representasi hubungan dialogis di antara keduanya (sastra modern-tradisi satsra lisan). Dengan demikian, kita menempatkan karya sastra dalam kerangka sinkronik dan diakronik (Jaus, 1982: 39).
Pembelajaran sastra yang demikian menempatkan karya sastra dan para pembacanya (siswa, pen.) dalam kerangka sejarah sebagai bentuk dialog dari sastra yang sejaman dan sastra yang memanjang waktu. Oleh karena itu, diharapkan siswa mendapat pengalaman bahwa sastra bukan barang instan, melainkan sesuatu yang sudah menjadi tradisi panjang.
Hal yang melatarbelakangi konsep pendekatan folkloristik-semiotik adalah pentingnya meletakkan sastra sebagai permainan. Karena permainan merupakan dasar kebudayaan (Huizinga, 1990). Dalam tradisi sastra lisan semua ekspresi sastra lisan adalah permainan. Demikian pula dengan sastra modern.
Oleh karena itu, pembelajaran sastra ditekankan pada kegiatan ‘bermain’ sebagai kegiatan hakiki mausia. Kegiatan ‘bermain’ juga mengindikasikan bahwa siswa sebagai pembelajar benar-benar diajak ‘mengalami’ sesuatu yang sedang dia pelajari. Diharapkan dengan pengalaman itulah siswa benar-benar belajar.
Karena pembelajaran ditekankan pada kegiatan ‘bermain’, maka siswa secara langsung mengalami apa yang dipelajarinya. Dengan demikian, pengalaman belajar semacam itu akan benar-benar menjadi milik pribadi dan menyatu dengan kepribadian.
2. Pendekatan Folklor-Semiotik sebagai Alternatif Pembelajaran Sastra
Sebagai tradisi lisan, folklor hidup dan berkembang bukan hanya pada masa lalu, tetapi juga hingga masa sekarang sekalipun kita sudah mengenal tradisi tulis. Artinya, kedua tradisi itu hidup secara berdampingan. Sebagai contoh kasus cerita Si Kabayan. Cerita lisannya masih hidup dan penciptaan secara tulis pun tetap hidup (Durachman, 2008). Dengan demikian, pembelajaran sastra pun harus berbasis kepada kedua tradisi tersebut.
Apalagi kenyataan menyatakan bahwa sastra lisan berada pada tradisi lisan. Dengan demikian, tidak ada alasan/ pembenaran apapun bahwa pembelajaran sastra (modern) harus memutus/ mengabaikan sastra lisan.
Pembelajaran sastra modern dengan memanfaatkan sastra lisan/ tradisi lisan justru akan semakin kaya. Misalnya pembelajaran apresiasi puisi melalui kegiatan musikalisasi. Akan tetapi, seyogyanya tidak berhenti pada musikalisasi puisi sebagai permainan artistik.
Sastra lisan dan tradisi lisannya bisa dijadikan sebagai alat juga sebagai objek studi. Akan tetapi, keduanya bermuara pada kegiatan ‘bermain’ sebagai upaya memberi siswa pengalaman artistik.
Oleh karena fungsinya seperti dua sisi mata uang itulah pembelajaran sastra tidak mungkin mengabaikan sastra lisan/ tradisi lisan/ folklor. Sebagai alat sastra lisan bisa digunakan dalam pembelajaran sastra (modern) yang pada hakikatnya adalah sastra tulis. Sabagai objek, sastra lisan memang harus diajarkan melalui pendekatan kelisanan. Akan tetapi, keduanya tetap disajikan dalam ‘permainan’.
Mengapa kita harus memperlakukan sastra sebagai sistem tanda? Karena dalam ‘permainan’ dan dalam hidup seluruhnya kita memang hidup dengan tanda-tanda. Masyarakat kita sudah terbiasa melihat fenomena bunga wijayakusuma sebagai tanda sesuatu terlepas dari kebenarannya. Kita tidak bisa melepaskan hidup dari ‘kepungan’ tanda-tanda.
Ketika kita memperlakukan sastra sebagai sistem tanda, kita sedang belajar ‘kearifan’ dari tanda-tanda tersebut. ‘Kearifan’ itu dikirim oleh pengarang dalam upaya memahami hidup. Dengan demikian, kita akan membawa/ melatih siswa untuk melatih diri memahami tanda-tanda ini supaya hidup lebih arif, lebih bijaksana.
Tanda-tanda itu hidup dalam tradisi kita, baik dalam tradisi lisan maupun dalam tradisi tulis. Dalam tradisi lisan kita mengenal kalimat sing awas ka sasmita (tanda, pen.) dalam tradisi tulis karya sastra yang ditulis para pengarang menghadirkan tanda (simbol, indeks, ikon) yang sangat kaya.
Dengan demikian, pembelajaran sastra akan membawa siswa pada pemahaman akan tradisi. Di dalam tradisi itu ada tanda-tanda (perhatikan istilah local genius ) yang harus diarifi oleh manusia yang hidup pada zaman kapanpun.
3. Prinsip Pendekatan Folkloristik-Semiotik
Pendekatan folkloristik-semiotik berlandaskan pada lima prinsip. Kelima prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, prinsip pemodelan. Artinya dalam setiap pembelajaran selalu ada teks karya sastra (baik lisan maupun tulis/ modern) yang dijadikan model. Model tersebut bisa dijadikan acuan untuk ‘peniruan’, analisis, hipogram, (teks yang dirujuk) maupun sebagai sumber penciptaan atau sebagai bahan pengalihwacanaan.
Kedua, prinsip analitis. Artinya, setiap pembelajaran mangajak para siswa melakukan analisis terhadap teks karya sastra yang dipelajari. Maksud analisisini untuk lebih mengenal karya sastra sebagai bahan untuk prinsip berikutnya, yaitu kreativitas.
Ketiga, prinsip kreativitas. Artinya, pembelaran menekanan kreativitas siswa. Kreativitas siswa bisa berupa bentuk berikut. Pertama, dalam bentuk ekspresi lisan atau tulis. Kedua, dalam bentuk pengalihwacanaan. Ketiga, dalam bentuk permainanan. Keempat, dalam bentuk re-kreasi.
Keempat, prinsip reflektif. Artinya, pembelajaran menuntut para siswa melakukan refleksi. Refleksi terutama berkaitan dengan upaya memahami karya sastra yang sedang mereka ‘pelajari’ dalam suatu unit tertentu.
Keempat prinsip tersebut menjiwai pembelajaran sastra. Pada prinsip ketiga, bisa saja berupa suatu bentuk atau perpaduan beberapa bentuk.
4. Bentuk-Bentuk Pembelajaran
4.1 Pembacaan Puisi
Pembelajaran ini memberi pengalaman siswa membaca (juga membacakan, pen.) puisi seintens mungkin, sehingga timbul kesenangan, Sangat disarankan satu orang siswa membaca satu puisi untuk yang berbeda dengan teman-temannya.
Setelah mereka membaca puisi yang pertama, tukarlah puisi mereka dengan puisi yang dibaca teman-temannya. Saling berdiskusilah di antara mereka. Mereka bisa berdiskusi dari segi musikalitasnya, majas-majas, kalimat-kalimatnya, simbol-simbol yang terdapat di dalamnya dan sebagainya.
Pada kesempatan lain, bacakanlah puisi itu secara individual. Kemudian bacakanlah pula oleh dua orang, tiga orang, empat orang, sepuluh orang, bahkan oleh seluruh kelas. Sehingga seluruh kelas merasakan ‘keindahan’ puisi tersebut. Pada hakikatnya dan pada awalnya puisi adalah lisan, maka untuk merasakan ‘keindahannya’ yang hakiki, puisi tulis itu harus dilisankan secara sempurna ( Finnegan, 1977).
4.2 Musikalisasi Puisi
Pembelajaran ini memberikan pengalaman menikmati keindahan puisi secara auditoris. Puisi yang hakekatnya lisan, dalam tradisi puisi tulis ini dikembalikan lagi kepada hakikatnya yang lisan. Ong (1982) menyebutkan sebagai kelisanan kedua. Upaya kelisanan kedua bukan hanya pada kegiatan musikalisasi puisi tetapi juga pada kegiatan pembacaan puisi dan dramatisasi puisi.
4.3 Dramatisasi Puisi
Pilihlah puisi-puisi yang memiliki efek dramatik yang kuat seperti puisi “Pembunuhan Sukra” atau puisi “Jante Arkidam”. Tentu hal itu dilakukan dengan didahului kegiatan pengalihwacanaan dari puisi ke teks drama.
Artinya, kegiatan dramatisasi mau tiak mau dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengalihwacanaan. Beri kesempatan siswa untuk memilih aspek/ bagian mana dari satu puisi didramatisasikan menjadi sebuah naskah drama. Kegiatan itu bisa dilakukan secara perseorangan maupun kelompok.
4.4 Penulisan Puisi
Tekanan kegiatan penulisan puisi yang utama diarahkan agar para siswa mendapat pengalaman artistik. Pengalaman tersebut penting, bukan menjadikan menjadikan mereka penyair tetapi menikmati kegiatan menulis puisi sebagai sebuah ‘permainan’.
Pada awalnya biarkan mereka meniru puisi-puisi yang ada sebagai stimulus. ‘Peniruan’ itu hanya sebagai upaya awal saja karena kemudian siswa akan merasakan menulis puisi sebagai ‘permainan’ yang mengasyikkan.
Kondisikan mereka agar beroleh pengalaman yang mengasyikkan ketika mereka menulis puisi. Buat mereka merasa nyaman dan nikmat dengan kegiatan ini.
4.5 Pembacaan Cerpen/ Novel/ Dongeng
Kegiatan semacam ini diperlukan sebagai upaya ‘bermain-main’ dengan karya artistik. Sama seperti kegiatan membaca (membacakan puisi) efek yang utama adalah efek auditoris selain efek-efek lainnya.
Pembicaraan mengenai struktur karya sastra bukan seperti kegiatan ‘dokter membedah mayat’. Akan tetapi, kegiatan ini sebagai upaya mengidentifikasi karya sastra dalam kerangka pembelajaran yang lain, antara lain menulis cerpen/ novel/ dongeng. Akan sangat baik kalau kegiatan ini merupakan suatu kesatuan yang integratif dengan kegiatan menulis cerpen/ novel/ dongeng. Dengan demikian, siswa merasakan kegiatan membaca menulis adalah kegiatan literasi yang mengasyikkan.
4.6 Penulisan Cerpen/ Novel/ Dongeng
Kegiatan ini adalah semacam eksperimen dari kegiatan ‘bermain-main’ dengan bahasa artistik. Dalam pelaksanaanya bimbinglah mereka melalui model pada awalnya. Kemudian, bimbinglah mereka menulis secara individual, tunjukkan kepada mereka bahwa kegiatan menulis ini adalah kegiatan yang sangat mengasyikkan.
4.7 Dramatisasi Cerpen/ Novel/ Dongeng
Seperti juga kegiatan dramatisasi puisi, kegiatan ini pun diawali dengan kegiatan pengalihwacanaan. Kegiatan pengalihwanacaan dari teks cerpen/ novel/ dongeng menjadi naskah drama yang basisnya adalah kegiatan pelisanan sesuatu sudah tertulis.
Berikan kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya mereka melakukan dramatisasti. Dramatisasti tidak selalu harus dilakukan di panggung yang sebenarnya. Kegiatan ini bisa juga dilakukan di depan kelas.
4.8 Pementasan Drama
Kegiatan pementasan drama tidak harus berasal dari naskah drama para dramawan. Akan tetapi, bisa juga berasal dari naskah drama yang mereka tulis sendiri.
Tekanan kegiatan ini adalah agar para siswa memmiliki pengalaman menggunakan bahasa artistik dalam bentuk dialog. Pengalaman ini sangat berharga, sehingga pelan tapi pasti merka akan tahu dimana perbedaan dan perasamaan tiga genre sastra yang ada.
4.9 Penulisan Naskah Drama
Pada kegiatan pementasan drama, mereka melakukan kegiatan ‘bermain’ bahasa artistik secara lisan. Sementara itu, pada kegiata penulisan naskah drama, mereka ‘bermain’ dengan bahasa artistik secara tulis.
Bimbinglah mereka melalui model-model naskah drama. Eksplorasilah berbagai kemungkinan mereka menulis naskah drama.
4.10 Pengalihwacanaan
Kegiatan pengalihwacanaan merupakan kegiatan kreatif mengubah suatu genre sastra ke genre lainnya. Bimbinglah mereka sehingga paham benar perbedaan dan persamaan masing-masing genre itu. Akan tetapi, yang terpenting dari kegiatan ini adalah para siswa tetap memiliki pengalaman menggunakan bahasa artistik.
5. Penutup
Pembelajran satra dengan pendekatan folkloristik-semiotik memberi pengalaman menggunakan bahasa artistik kepada siswa. Bahasa artistik yang dimaksud diletakkan dalam tradisi panjang. Dengan demikian, siswa belajar menggunakan bahasa artistik secara sinkronik dan diakronik.
Pengalaman maenggunakan bahasa artistik dilakukan dalam suasana ‘bermain’ bukan suasana seorang ilmuan membedah mayat. Dengan demikian, kita memberi pengalaman kepada mereka kepada inti dan hakikat kebudayaan, yaitu permainan.
Pustaka Rujukan
Dundes, Alan (Ed.) 1965. The Study of Folklore. New York: Prentice Hall, Inc.
Durachman, Memen. 2008. “Cerita Si Kabayan: Transformasi, Proses Penciptaan, Makna, dan Fungsi,” dalam Metasastra, Jurnal Penelitian Sastra Volume 1, Nomor 1, Juni.
Elliott, John B. dan Mary M. Dupuis. 2002. Young Adult Literature in The Classroom: Reading lt, Teaching lt, Loving lt. Delaware: The International Reading Association, Inc.
Finnegan, Ruth. 1977. Oral Poetry: Its Nature, Significance, and Social Context. Cambridge: cambridge University Press.
Gofort, Frances S. dan Caroly V. Spullman. 1994. Using Folk Literature in The Classroom: Encouraging Children to Read and Write. Arizona: The Onxy Press.
Huizinga, Johan 1990. Homo Ludens: Fungsi dan Hakekatpermainan dalam Budaya. Terjemahan Hasan Basani. Jakarta: LP3ES.
Jauss, Hans. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Translation Timothy Bahti. Minneapolis: Universitas Minnesata.
Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of Word. London: Methuen.
Taylor, Eric K. 2000. Using Folktales. New York: Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar