Oleh : Asikin Hidayat
Tinjauan Historis.
R. Tjetjep Supriadi dalam makalah yang disajikannya pada Saresehan Seni Pedalangan Wayang Golek Sunda tahun 1999 dengan mengutip pernyataan Sri Mulyono, menyatakan bahwa wayang sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu. Artinya wayang sudah digemari orang sejak tahun 1500 SM.
Di Indonesia wayang golek berkembang sejak agama Hindu masuk. Ini terbukti bahwa cerita yang dibawakan dalam wayang golek diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana yang dibawa oleh orang-orang Hindu dari India. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa wayang berasal dari India. Wayang dengan peralatannya yang sederhana, dipastikan berasal dari Indonesia dan ciptaan asli bangsa Indonesia.
Selama dalam pertumbuhannya, wayang mengalami banyak perubahan dan pembaharuan-pembaharuan. Keberadaan wayang di masyarakat berfungsi sebagai media hiburan, media upacara (ngaruat, dsb), alat tranformasi informasi, alat pendidikan, alat penerangan, penyuluhan, dan bahkan kini menjadi obyek ilmiah.
Ketika agama Islam masuk, wayang menjadi media dakwah yang cukup efektif. Wali Sanga memanfaatkan wayang sebagai media penyebaran agama Islam di pelosok Pulau Jawa.
Wayang golek bentuknya lebih sempurna dibandingkan wayang kulit, karena memiliki unsur tiga dimensi. Wayang golek dapat dimainkan siang hari, tidak memerlukan blencong seperti pada pertunjukan wayang kulit.
Di Majaléngka wayang golek berkembang sejak tahun 1950-an. Beberapa orang Majaléngka sempat berguru kepada dalang-dalang wayang golek di Priangan (Sumedang dan Bandung). Salah seorang di antaranya adalah Komar Sonjaya dari Dukuhbitung, Kadipaten, yang berguru kepada Sapaat Suwanda di Soreang, Bandung.
Komar Sonjaya mendirikan kelompok seni wayang golek dengan nama Budi Daya. Setelah itu bermunculan dalang wayang golek di Majaléngka yang pada gilirannya mencapai masa keemasan sekitar tahun 1970-an. Mereka antara lain : Ja’i Diharja (Dawuan), Lili Sutisna (Galuh Pakuan, Jatiwangi), Yono Supriyono (Ganda Mekar, Majaléngka), Sambik S.A Putra (Majaléngka), Tasdik Rohendi (Lurgeta I, Palasah), dan Momo Sudirja (Leuwisééng, Panyingkiran).
Waditra dan Tata Cara Pertunjukan
Waditra yang digunakan dalam pergelaran wayang golek adalah seperangkat gamelan salendro. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, para dalang mencoba berkreasi dengan memasukkan sisipan laras pelog dan sorog ke dalam wilahan gamelan, sehingga lagu-lagunya lebih variatif.
Waditra selengkapnya adalah : saron 1 dan 2, bonang indung, bonang rincik, peking, panerus, kenong, jengglong, gambang, gong, kempul, gendang, dan kulanter.
Bahan cerita dapat berbentuk lakon galur maupun lakon carangan. Lakon galur artinya lakon yang berpatokan kepada cerita sumber tanpa tambahan atau pengurangan. Sedangkan cerita carangan adalah cerita yang berpatokan kepada cerita sumber namun dengan penambahan-penambahan, dan bahkan berbentuk cerita yang baru.
Pergelaran wayang tersusun sebagai berikut :
1. tatalu
2. murwa
3. jejer
4. babak, unjal, paseban, bébégalan
5. nagara séjén,
6. patapan
7. perang gagalan
8. panakawan/goro-goro
9. perang kembang
10. perang campuh, dan
11. tutug.
Sepertinya urutan pertunjukan seperti di atas merupakan pakem yang baku dan harus diikuti oleh semua dalang dalam pertunjukannya. Walaupun semikian, paradigma berpikir kemudian mengalami perubahan. Asép Sunandar Sunarya dari Giri Harja III sering memulai pergelaran wayang dari tampilan panakawan.
Prospek dan Pembinaan
Prospek wayang golek Majaléngka agaknya untuk beberapa tahun ke depan masih mengalami kesulitan, karena masyarakat cenderung menyukai pergelaran wayang golek dengan nama besar dalangnya, antara lain Asép Sunandar Sunarya dari Bandung. Berbagai kelebihan mémang dimiliki oleh Asép Sunandar, baik dalam olah wayang maupun dalam tabuhan gamelan. Kreativitas akhirnya mémang diperlukan agar wayang golek tetap hidup. Asép Sunandar banyak digemari karena kreativitasnya yang tidak pernah berhenti.
Kiranya perlu dipikirkan oleh masyarakat pedalangan Majaléngka, bahwa jika ingin tetap berkibar, maka kreativitas harus ditingkatkan. Sedangkan indikasi untuk meningkatkan kualitas melalui kreativitas hingga saat ini di Majalengka belum tampak. Para dalang masih memainkan wayang secara tradisional, menurut pakem, dan hampir tanpa pembaharuan.
Binojakrama pedalangan wayang golek di Majaléngka pada tahun 2007 merupakan sebuah media agar kemudian para dalang mampu meningkatkan kualitas. Pada bulan Maret 2008 yang lalu diberangkatkan peserta binojakrama pedalangan wayang golek di Bandung, yaitu Dedi Surahman. Hasil yang didapat mémang belum cukup menggembirakan, namun terpilihnya alok terbaik atas nama Yoyo Sunarya dari Majalengka merupakan kebanggaan tersendiri.
Di kalangan generasi muda, pengenalan wayang memerlukan perhatian yang serius. Di sekolah wayang hanya sepintas saja dibahas dalam pelajaran Bahasa Sunda. Itu pun terbatas pada nama-nama lima orang Pandawa, sedangkan yang lain-lainnya tidak pernah disebut-sebut.
Beberapa dalang masih mencoba bertahan, antara lain :
1. Casman Sudaryat, Purnama Giri, Dawuan.
2. Omay Komara, Giri Mukti, Dawuan.
3. Ikin Tasdik Putra, Lurgeta II, Palasah
4. Dedi Tasdik Putra, Liurgeta III, Palasah.
5. Dedi Sudrajat. Gentra Tumaritis, Sindangwangi.
6. Mansur, Girijaya, Baribis, Cigasong.
7. Asép Koswara, Padahanten, Sukahaji,
8. Dedi Surahman, Margaluyu, Munjul, Majaléngka,
9. Nanang Sukma Mulya, Simbar Kencana, Sukamenak, Bantarujeg,
10. Aan Sutresna Suhaya Atmaja, Setia Bakti, Cisoka, Cikijing.
11. Didi Amung Sutarya, Jatipamor, Talaga,
12. Nono Sudrajat, Giri Cempaka, Tarikolot, Kulur, Majaléngka,
13. Momon S., Cicurug, Majaléngka,
14. Otong Suteja, Pancurendang Tonggoh, Majaléngka,
15. Encun, Baribis, Cigasong.
Sabtu, 30 Juli 2011
PERKEMBANGAN WAYANG KULIT PURWA DI MAJALENGKA
Tinjauan Historis
Wayang kulit telah ada sejak masa pemerintahan Sri Maharaja Lokapala Hariwangsa Tunggadewa. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan tahun 840 M. Prasasti lainnya yang menyebut adanya wayang kulit adalah prasasti yang berangka tahun 907 ketika Diah Balitung memerintah Mataram I.
Di Jawa, wayang kulit dikenal masyarakat pada masa pemerintahan Raja Airlangga sekitar abad XI. Pada masa pemerintahan Raden Fatah (Demak) wayang kulit pernah dilarang, karena wajahnya seperti manusia. Agar wayang tetap hidup, para wali bersepakat membuat bentunya yang baru, terbuat dari kulit yang sangat sederhana.
Sunan Kalijaga kemudian mengusulkan agar wayang kulit menjadi media syiar Islam. Di samping itu bertujuan untuk menghilangkan kepercayaan kepada dewa-dewa dalam agama Hindu. Karakteristik tokoh pendeta yang ada pada Mahabarata dirubah, sehingga masyarakat beralih pandang dan bersedia masuk agama Islam.
Seiring dengan upaya penyebaran agama Islam, wayang kulit masuk ke wilayah Cirebon dan sekitarnya. Imbas dari penyebaran agama Islam melalui Cirebon itu akhirnya sampai juga di wilayah Majaléngka, dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Wayang kulit yang berkembang di Majaléngka terutama tersebar di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Cirebon dan Indramayu, seperti Jatitujuh, Jatiwangi, dan Sumberjaya.
Terdapat beberapa pebedaan antara wayang kulit yang berkembang di Cirebon dan sekitarnya dengan wayang kulit di Yogyakarta, antaranya :
1. Bentuk tokoh lakon Mahabarata dan Ramayana yang berkembang di Cirebon dan sekitarnya cenderung sama dengan yang berkembang di Demak.
2. Tokoh panakawan di wilayah Cirebon, Indramayu dan Majalengka terdapat 9, yaitu Semar, Gareng, Dawala, Sekarpandan, Bagong (Astrajingga), Cungkring, Bitarita, Ceblok, dan Bagalbuntung. Sedangkan di Yogyakarta hanya empat, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Perkembangan wayang kulit di Majaléngka tidak bisa lepas dari nama Sunan Kalijaga dengan sebutan Pangéran Panggung sebagai cikal bakalnya. Di bawah adalah tokoh-tokoh yang berperan dalam mengembangkan wayang kulit.
1. Pangéran Panggung (Sunan Kalijaga)
2. Pangéran Canggah Kawi
3. Pangéran Surapringga
4. Kidar
5. Kintan
6. Kaca
7. Gunteng (Gendut)
8. Keling (Karep), yang satu ini merupakan dalang Keraton Kasepuhan Cirebon. Ia juga mendapat julukan Ngabei Kertaswara atau Embah Bei.
9. Patut
10. Candra / Suwati
11. Supena
12. Dana
13. Suta
14. Karma Al HB
PAK KARTA, DALANG WAYANG KULIT ASAL BONGAS, MAJALENGKA
Waditra dan Tata Cara Pertunjukan
Pergelaran wayang kulit biasanya menggunakan layar atau kain putih membentang di bagian depan panggung. Di belakang layar dipasang lampu blencong (dalung), penonton dapat melihat bayangan wayang kulit di layar bagian depan ketika wayang kulit dimainkan.
Waditra pengiring wayang kulit adalah seperangkat gamelan berlaras pelog yang terdiri dari : gendang, kulanter, bedug, saron, peking, selentem, gong, kempul, panerus, kenong, jengglong, ketuk, gambang, kecrek, kamanak, dan suling. Adapun personil pergelaran wayang kulit adalah dalang, pemain gamelan (nayaga), sinden, alok, dan catrik (pembantu dalang).
Sebelum pergelaran dimulai, dalang membakar dupa dan membacakan do’a, memohon lindungan dari Tuhan Yang Mahakuasa dan restu dari para ‘karuhun’, agar diberi kekuatan, kecemerlangan berpikir, kefasihan berbicara, dan terutama sekali, keselamatan pertunjukan sejak awal sampai akhir.
Dalam praktiknya, selain sebagai tontonan, wayang kulit juga befungsi sakral, sering dimainkan dalam acara-acara upacara adat, seperti Muludan, Mapag Sri, dan Ngaruat. Untuk keperluan upacara adat, biasanya diperlukan pelengkap berupa sesajian, berupa rujak dan makanan lainnya. Waktu Pabrik Gula Kadipaten masih aktif, wayang kulit menjadi salah satu hiburan wajib yang dipertunjukkan di salah satu sudut lokasi pabrik. Di beberapa tempat, misalnya di Sidamukti, wayang kulit masih sering digelar terutama untuk acara ngaruat. Di Karayunan dan di beberapa daerah di wilayah utara Majaléngka, wayang kulit masih memiliki banyak penggemar.
Prospek dan Pembinaan
Dalam sebuah kesempatan wawancara, Sukarta, salah seorang tokoh pedalangan wayang kulit purwa di Majaléngka mengemukakan harapan, bahwa seyogyanya wayang kulit kembali ‘dihidupkan’. Ia berpendapat, sebenarnya sebagian besar masyarakat Majaléngka menggemari wayang kulit. Kuncinya adalah adanya perhatian dari pemerintah daerah terhadap kesenian wayang kulit. Misalnya dengan menganjurkan kembali pelaksanaan upacara adat yang di beberapa tempat sudah mulai ditinggalkan. Upacara adat seperti muka tanah, mapag sri (saat mau panén), dsb. minimal membutuhkan pertunjukan wayang kulit, walau hanya untuk satu kali dalam satu tahun. Daerah yang masih melakukan upacara adat demikian adalah Sidamukti dan Ligung. Di dua daerah ini wayang kulit masih dibutuhkan.
Pembinaan yang dilakukan antara lain melaksanakan pergelaran secara berkala, atau melaksanakan ajang binojakrama seperti yang pernah dilakukan pada bulan Juni tahun 2007. Dari ajang tersebut diketahui, ternyata di Majaléngka potensi pedalangan wayang kulit masih cukup baik.
Berikut beberapa dalang dan nama grupnya yang masih eksis di Majaléngka :
1. Renda, Ringgit Purwa, di Cicurug, Majaléngka.
2. Sukarta, Panggelar Budi, di Bongas, Sumber Jaya (Juara Umum Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit se-Jawa Barat tahun 1993).
3. Eye Rosdiana, Panca Darma, Sindangwasa, Palasah (Juara 1 Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit se-Jawa Barat tahun 1995).
4. Eman di Cicurug, Majalengka
5. Yono Dana Muda, Gaya Mekar, di Ranji, Dawuan
6. Edi Permana, Sri Sejati, di Balida, Dawuan (Juara II Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka)
7. Parta Suwandana. Gaya Pribadi, di Loji, Palasah
8. Oong Kertaswara, Pancaroba, di Balida, Dawuan
9. Ita Karwita, di Randegan, Jatitujuh (Juara III Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007)
10. Waskita, di Iser, Leuwimunding (Juara I Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka)
11. Anom Suhadi, di Jatitengah, Jatitujuh (masih berusia 15 tahun, tercatat sebagai peserta termuda Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka).
Sabtu, 16 Juli 2011
SANDIWARA SUNDA DI MAJALENGKA
A. Tinjauan Historis
Sandiwara Sunda di Majaléngka berkembang sejak awal tahun 1930-an. Seni pertunjukan berbentuk teater ini digemari oleh semua lapisan masyarakat pada waktu itu.
Beberapa perkumpulan atau grup kesenian sandiwara Sunda pernah berdiri, antara lain di Jatiwangi (Mirah Delima, Medal Kawangi, Kutawaringin), Majaléngka (Budaya Sunda), Dawuan (Gaya Remaja). Di Darmalarang, Malongpong, Munjul, dan Karayunan pun pernah pula berdiri beberapa kelompok sandiwara.
Himpunan Barudak (HB) adalah kelompok sandiwara yang pertama kali berdiri di wilayah Majaléngka. Kelompok ini dipimpin oleh Karma Al Habe dari Gandu Kecamatan Dawuan. Pada perkembangan selanjutnya kelompok ini mengganti nama menjadi Gaya Remaja dan bermarkas di Kasokandel.
Pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an di Kadipaten dan Majaléngka pernah berdiri gedung-gedung pertunjukan Sandiwara. Gedung pertunjukan yang pernah berdiri di Kadpaten bernama Serbaguna. Beberapa kelompok sandiwara yang melakukan pertunjukan di gedung ini antaranya adalah Galih Pakuan pimpinan Safaat Suwanda, Budaya Sunda pimpinan Kida, dan Sinar Galih pimpinan Aji Somara. Di Jatiwangi juga pernah berdiri gedung kesenian Mustika Budaya. Selain manggung di gedung-gedung pertunjukan dan memenuhi permintaan hiburan hajatan atau event khusus, kelompok-kelompok sandiwara itu ada yang melakukan pertunjukan secara ngubung, yaitu pertunjukan di beberapa tempat secara berpindah-pindah, misalnya di Munjul, Kapur, Apuy, dan beberapa tempat lainnya. Seperti halnya pertunjukan di gedung kesenian, penonton yang datang di tempat ngubung juga ditarik bayaran.
Masa emas sandiwara Sunda di wilayah Majaléngka bertahan sampai akhir tahun 1984. Setelah itu nasibnya tersingkirkan dengan kedatangan hiburan lain berupa pertunjukan film bioskop dan layar tancap serta maraknya perkembangan televisi.
Gedung Serbaguna di Kadipaten kemudian berubah fungsi menjadi gedung bioskop. Gedung Mustika Budaya di Kadipaten berubah fungsi menjadi gudang pupuk, dan sekarang menjadi pertokoan. Tempat ngubung pun satu-persatu hilang.
Walaupun demikian upaya survive tetap dilakukan. Gaya Remaja di Dawuan dan Medal Kawangi di Palasah hingga sekarang masih berdiri, walaupun frekuensi pertunjukan sudah sangat jarang. Bahkan beberapa perkumpulan yang relatif baru pun berdiri di beberapa tempat, antara lain Candra Kirana pimpinan H. HR Affendi di Ampel, Ligung, dan Putra Remaja pimpinan S. Aripin di Pagandon.
Beberapa tokoh sandiwara Sunda di Majaléngka antara lain : Karma Al Habe, Hj. Mimi Karwati, Komar Sonjaya, Tatang Riyana, Mih Atin, Agod, Ayi, Hayo Haryono, Toto Subrata, Otong Ruslan, Dudung Durahman, Jumali, Juned, Odri (Wa Agod), Ratnanengsih (Ma Ala), Toto Batara, S. Aripin, HR Affendi, dll.
B. Unsur Penunjang Pertunjukan Sandiwara
Terdapat beberapa jenis cerita yang diangkat dalam pertunjukan sandiwara, yaitu cerita pantun, cerita Mahabarata dalam bentuk wayang orang, cerita babad, dan cerita desik. Cerita pantun antara lain Lutung Kasarung, Sangkuriang, dll. Cerita wayang antara lain Arjunawiwaha, Bangbang Kombayana, dll. Cerita babad di antaranya Dewi Roro Kidul dan Hayam Wuruk, Damar Wulan, Ciung Wanara, Suryaningrat. Cerita desik diambil dari cerita seribu satu malam, antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dll.
Di wilayah Majaléngka, cerita yang sering ditampilkan adalah cerita pantun dan cerita babad.
Bahasa dan sastra menyangkut penggunaan bahasa dan ungkapan dalam pertunjukan san-diwara. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sandiwara adalah bahasa Sunda berbentuk prosa, namun di sana-sini terdapat banyak sekali ung-kapan-ungkapan yang puitis.
Unsur drama menyangkut pemeranan dalam pertunjukan sandiwara, misalnya raja, permaisuri, patih, dll. Setiap pemeran melakukan dialog satu sama lain dan terlibat dalam konflik yang dibangun. Di dalam pemeranan, ada yang disebut pemeran utama dan pemeran pembantu.
Pemeran utama wanita dalam pertunjukan sandiwara dikenal dengan sebutan sripanggung. Mimi Karwati, Nanah Hasanah, adalah dua orang sosok sripanggung yang sangat dikenal pada masanya.
Unsur tari tersaji untuk cerita-cerita pantun, cerita wayang, dan cerita babad. Hampir semua pemain sandiwara mampu menari, dengan karakter tarian sesuai dengan peran masing-masing pemain.
Seni suara tersaji dalam bentuk nyanyian yang dibawakan oleh sinden dan penabuh gamelan. Seperti halnya pertunjukan wayang, setiap adegan memiliki karakter lagu dan jenis tabuhan tertentu.
Seni rupa muncul dalam bentuk artistik latar belakang panggung berupa layar-layar yang dibentang, dan digulung ke atas jika tidak sedang dipakai. Setiap layar digambar sesuai karakter bagian cerita atau adegan, misalnya layar putih, layar merah, gambar kadipaten, gambar kaputren, keraton, taman sari, hutan, dll.
C. Tata Cara Pertunjukan
Pertunjukan sandiwara diawali dengan tetabuhan gamelan sebagai pembuka. Pada saat itu dibacakan informasi mengenai lakon yang akan dimainkan.
Pertunjukan sandiwara, yang dimainkan tanpa skenario tertulis, terdiri atas beberapa adegan atau disebut juga bedrip. Para pemain yang masuk pada setiap adegan menarikan tarian sesuai karakter yang dibawakannya.
Seperti halnya pertunjukan teater, alur cerita biasanya terdiri atas pengenalan – konflik – klimaks – penyelesaian.
D. Prospekl dan Pembinaan
Sandiwara Sunda kini menghadapi masa yang amat sulit. Perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai fenomena dunia yang semakin mudah, semakin mempersempit ruang gerak sandiwara Sunda untuk tetap eksis. Jika di beberapa tempat di Majaléngka masih terdapat grup Sandiwara yang masih hidup, adalah karena generasi pemain Sandiwara masih mencoba menghidupi kesenian yang satu ini, walaupun tidak menjanjikan mampu menghidupi dirinya sendiri melalui kesenian yang dikembangkannya ini.
Prospek yang paling mungkin adalah upaya pelestarian kesenian yang semakin tersudut ini melalui upaya-upaya :
1. Regenerasi, berupa pelatihan pengetahuan dan pemeranan sandiwara kepada generasi muda.
2. Penulisan naskah drama baik berupa bagal cerita, cerita utuh, maupun berupa skenario, sehingga sandiwara dapat dimainkan oleh para pemula.
3. Adanya upaya pembaharuan dari para pelaku sandiwara Sunda, sehingga sandiwara tampil dengan bentuk baru namun tidak meningalkan khas tradisionalnya. Dengan upaya pembaharuan itu, sandiwara Sunda akan mampu bersaing dengan tontonan lain yang marak berkembang di Majaléngka.
Pembaharuan itu misalnya dalam olah cerita, teknik pemeranan, gending, dan sebagainya. Boleh jadi campursari yang berkembang di wilayah Jawa Tengah menjadi contoh yang baik dari sebuah upaya pembaharuan.
4. Perhatian serius dari pemerintah untuk tetap memberikan kehidupan kepada kesenian san-diwara Sunda, baik berupa pementasan rutin, maupun subsidi dengan teknis-teknis tertentu.
Sandiwara Sunda di Majaléngka berkembang sejak awal tahun 1930-an. Seni pertunjukan berbentuk teater ini digemari oleh semua lapisan masyarakat pada waktu itu.
Beberapa perkumpulan atau grup kesenian sandiwara Sunda pernah berdiri, antara lain di Jatiwangi (Mirah Delima, Medal Kawangi, Kutawaringin), Majaléngka (Budaya Sunda), Dawuan (Gaya Remaja). Di Darmalarang, Malongpong, Munjul, dan Karayunan pun pernah pula berdiri beberapa kelompok sandiwara.
Himpunan Barudak (HB) adalah kelompok sandiwara yang pertama kali berdiri di wilayah Majaléngka. Kelompok ini dipimpin oleh Karma Al Habe dari Gandu Kecamatan Dawuan. Pada perkembangan selanjutnya kelompok ini mengganti nama menjadi Gaya Remaja dan bermarkas di Kasokandel.
Pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an di Kadipaten dan Majaléngka pernah berdiri gedung-gedung pertunjukan Sandiwara. Gedung pertunjukan yang pernah berdiri di Kadpaten bernama Serbaguna. Beberapa kelompok sandiwara yang melakukan pertunjukan di gedung ini antaranya adalah Galih Pakuan pimpinan Safaat Suwanda, Budaya Sunda pimpinan Kida, dan Sinar Galih pimpinan Aji Somara. Di Jatiwangi juga pernah berdiri gedung kesenian Mustika Budaya. Selain manggung di gedung-gedung pertunjukan dan memenuhi permintaan hiburan hajatan atau event khusus, kelompok-kelompok sandiwara itu ada yang melakukan pertunjukan secara ngubung, yaitu pertunjukan di beberapa tempat secara berpindah-pindah, misalnya di Munjul, Kapur, Apuy, dan beberapa tempat lainnya. Seperti halnya pertunjukan di gedung kesenian, penonton yang datang di tempat ngubung juga ditarik bayaran.
Masa emas sandiwara Sunda di wilayah Majaléngka bertahan sampai akhir tahun 1984. Setelah itu nasibnya tersingkirkan dengan kedatangan hiburan lain berupa pertunjukan film bioskop dan layar tancap serta maraknya perkembangan televisi.
Gedung Serbaguna di Kadipaten kemudian berubah fungsi menjadi gedung bioskop. Gedung Mustika Budaya di Kadipaten berubah fungsi menjadi gudang pupuk, dan sekarang menjadi pertokoan. Tempat ngubung pun satu-persatu hilang.
Walaupun demikian upaya survive tetap dilakukan. Gaya Remaja di Dawuan dan Medal Kawangi di Palasah hingga sekarang masih berdiri, walaupun frekuensi pertunjukan sudah sangat jarang. Bahkan beberapa perkumpulan yang relatif baru pun berdiri di beberapa tempat, antara lain Candra Kirana pimpinan H. HR Affendi di Ampel, Ligung, dan Putra Remaja pimpinan S. Aripin di Pagandon.
Beberapa tokoh sandiwara Sunda di Majaléngka antara lain : Karma Al Habe, Hj. Mimi Karwati, Komar Sonjaya, Tatang Riyana, Mih Atin, Agod, Ayi, Hayo Haryono, Toto Subrata, Otong Ruslan, Dudung Durahman, Jumali, Juned, Odri (Wa Agod), Ratnanengsih (Ma Ala), Toto Batara, S. Aripin, HR Affendi, dll.
B. Unsur Penunjang Pertunjukan Sandiwara
Terdapat beberapa jenis cerita yang diangkat dalam pertunjukan sandiwara, yaitu cerita pantun, cerita Mahabarata dalam bentuk wayang orang, cerita babad, dan cerita desik. Cerita pantun antara lain Lutung Kasarung, Sangkuriang, dll. Cerita wayang antara lain Arjunawiwaha, Bangbang Kombayana, dll. Cerita babad di antaranya Dewi Roro Kidul dan Hayam Wuruk, Damar Wulan, Ciung Wanara, Suryaningrat. Cerita desik diambil dari cerita seribu satu malam, antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dll.
Di wilayah Majaléngka, cerita yang sering ditampilkan adalah cerita pantun dan cerita babad.
Bahasa dan sastra menyangkut penggunaan bahasa dan ungkapan dalam pertunjukan san-diwara. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sandiwara adalah bahasa Sunda berbentuk prosa, namun di sana-sini terdapat banyak sekali ung-kapan-ungkapan yang puitis.
Unsur drama menyangkut pemeranan dalam pertunjukan sandiwara, misalnya raja, permaisuri, patih, dll. Setiap pemeran melakukan dialog satu sama lain dan terlibat dalam konflik yang dibangun. Di dalam pemeranan, ada yang disebut pemeran utama dan pemeran pembantu.
Pemeran utama wanita dalam pertunjukan sandiwara dikenal dengan sebutan sripanggung. Mimi Karwati, Nanah Hasanah, adalah dua orang sosok sripanggung yang sangat dikenal pada masanya.
Unsur tari tersaji untuk cerita-cerita pantun, cerita wayang, dan cerita babad. Hampir semua pemain sandiwara mampu menari, dengan karakter tarian sesuai dengan peran masing-masing pemain.
Seni suara tersaji dalam bentuk nyanyian yang dibawakan oleh sinden dan penabuh gamelan. Seperti halnya pertunjukan wayang, setiap adegan memiliki karakter lagu dan jenis tabuhan tertentu.
Seni rupa muncul dalam bentuk artistik latar belakang panggung berupa layar-layar yang dibentang, dan digulung ke atas jika tidak sedang dipakai. Setiap layar digambar sesuai karakter bagian cerita atau adegan, misalnya layar putih, layar merah, gambar kadipaten, gambar kaputren, keraton, taman sari, hutan, dll.
C. Tata Cara Pertunjukan
Pertunjukan sandiwara diawali dengan tetabuhan gamelan sebagai pembuka. Pada saat itu dibacakan informasi mengenai lakon yang akan dimainkan.
Pertunjukan sandiwara, yang dimainkan tanpa skenario tertulis, terdiri atas beberapa adegan atau disebut juga bedrip. Para pemain yang masuk pada setiap adegan menarikan tarian sesuai karakter yang dibawakannya.
Seperti halnya pertunjukan teater, alur cerita biasanya terdiri atas pengenalan – konflik – klimaks – penyelesaian.
D. Prospekl dan Pembinaan
Sandiwara Sunda kini menghadapi masa yang amat sulit. Perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai fenomena dunia yang semakin mudah, semakin mempersempit ruang gerak sandiwara Sunda untuk tetap eksis. Jika di beberapa tempat di Majaléngka masih terdapat grup Sandiwara yang masih hidup, adalah karena generasi pemain Sandiwara masih mencoba menghidupi kesenian yang satu ini, walaupun tidak menjanjikan mampu menghidupi dirinya sendiri melalui kesenian yang dikembangkannya ini.
Prospek yang paling mungkin adalah upaya pelestarian kesenian yang semakin tersudut ini melalui upaya-upaya :
1. Regenerasi, berupa pelatihan pengetahuan dan pemeranan sandiwara kepada generasi muda.
2. Penulisan naskah drama baik berupa bagal cerita, cerita utuh, maupun berupa skenario, sehingga sandiwara dapat dimainkan oleh para pemula.
3. Adanya upaya pembaharuan dari para pelaku sandiwara Sunda, sehingga sandiwara tampil dengan bentuk baru namun tidak meningalkan khas tradisionalnya. Dengan upaya pembaharuan itu, sandiwara Sunda akan mampu bersaing dengan tontonan lain yang marak berkembang di Majaléngka.
Pembaharuan itu misalnya dalam olah cerita, teknik pemeranan, gending, dan sebagainya. Boleh jadi campursari yang berkembang di wilayah Jawa Tengah menjadi contoh yang baik dari sebuah upaya pembaharuan.
4. Perhatian serius dari pemerintah untuk tetap memberikan kehidupan kepada kesenian san-diwara Sunda, baik berupa pementasan rutin, maupun subsidi dengan teknis-teknis tertentu.
Jumat, 08 Juli 2011
NGAHANGKEUTKEUN ATIKAN KARAKTER
Ku : Asikin Hidayat
Dasar jeung Harti
Pasal 3 UU Nomer 20 Taun 2003 ngeunaan Sistem Atikan Nasional nyebutkeun yen atikan nasional fungsina keur ngamekarkeun kamampuh jeung ngabentuk karakter bangsa anu ngabogaan martabat dina raraga nyinger-pinterkeun kahirupan bangsa. Dumasar kana hal eta, Pamarentah nguarkeun pentingna atikan karakter pikeun ngahontal kahirupan bangsa anu beradab. Atikan karakter sacara implisit kaungel dina kalimah tujuan atikan nasional, nyaeta ngamekarkeun pamilon atikan (peserta didik) sangkan jadi manusa anu iman jeung takwa ka Pangeran Nu Maha Tunggal, mibanda ahlak hade, sehat, ngelmu, parigel, kreatif, macakal, sarta jadi warga nagara anu demokratis jeung tanggung jawab.
Sari pati utama tina diuarkeunana atikan karakter di sakola teh taya lian pikeun ngungkulan pangabutuh sumber daya manusa (SDM) anu nyukupan kana jumlah jeung kamampuanana, anu dina danget ayeuna geus teu bisa ditawar deui, komo mun seug dihubungkeun kana beuki santerna isu ngeunaan elmu pangaweruh jeung teknologi (IPTEK) jeung globalisasi. Ieu isu, upama henteu buru-buru, bakal ngabalukarkeun SDM anu aya hengker dina sagala widang. SDM anu hengker moal boga kamampuh pikeun maca kamajuan jaman sacara positif, malah bisa jadi salah tapsir, balukarna sasama komponen bangsa bakal silih suntrung. Hal ieu geus loba kacontoan, saperti ayana konflik politik, konflik sosial, jeung sajabana anu cara ngarengsekeunana henteu didasaran ku karakter bangsa beradab atawa bangsa anu ngelmu. Itu ieu pada-pada pengkuh dina pamadegan sorangan jangeun kapentingan sorangan jeung kelompokna, teu nolih kana kapentingan balarea.
Patali reujeung hal kasebut di luhur, tujuan atikan nasional maparin isarah yen atikan karakter kudu geus ngawitan dilaksanakeun di unggal tahapan sakola, ti SD nepi ka Paguron Luhur (Perguruan Tinggi). Hal ieu pakait jeung usaha ngabentuk karakter siswa/mahasiswa sangkan ngabogaan daya saing, etika, moral, sopan santun sarta bisa ngalaksanakeun interaksi jeung masarakat.
Ali Ibrahim Akbar (2000) ti Harvard University Amerika Serikat, kungsi nyieun panalungtikan sarta netelakeun yen kasuksesan hiji jalma henteu wungkul ditangtukeun ku pangaweruh jeung kamampuan teknis (hard skill), tapi leuwih dibalukarkeun ku kamampuan ngokolakeun diri sorangan jeung batur (soft skill). Ieu panalungtikan teh ngajentrekeun, yen 20 persen kasuksesan ditangtukeun ku hard skill sarta anu 80 persenna deui ditangtukeun ku soft skill. Malah jalma-jalma anu pangsuksesna di dunya leuwih loba didukung ku kamampuan soft skill tibatan hard skill. Hal ieu ngebrehkeun yen ngahangkeutkeun mutu atikan karakter siswa/mahasiswa kacida pentingna.
Karakter teh nyaeta ajen-inajen paripolah manusa anu pakait langsung jeung dzat Illahi Rabbi, diri sorangan, sasama manusa, lingkungan, jeung kabangsaan anu wujudna tembong dina pikiran, sikep, rasa, ucap, jeung paripolah dumasar kana norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, jeung adat istiadat. Sedengkeun atikan karakter nyaeta hiji sistem keur numuwuhkeun ajen-inajen karakter ka warga sakola anu ngawengku komponen pangaweruh, kasadaran atawa kadaek, sarta tindakan pikeun ngalaksanakeun ajen-inajen kasebut, boh keur Allah SWT, diri sorangan, sasama, lingkungan, atawa kabangsaan sangkan jadi manusa insan kamil. Dina atikan karakter di sakola, sakabeh komponen (stakeholders) kudu dilibetkeun, kaasup komponen-komponen atikan eta sorangan, nyaeta eusi kurikulum, proses pangajaran jeung evaluasi, kualitas hubungan, cara ngokolakeun kelas, sakola, aktivitas atawa kagiatan ko-kurikuler, sarana prasarana, biaya, jeung etos gawe sakabeh warga jeung lingkungan sakola.
Leupas tina sagala kakurangan dina praktek atikan di Indonesia, lamun ditingal tina jihad standar nasional pendidikan (SNP) anu jadi patokan pamekaran kurikulum (KTSP), jeung implementasi pangajaran sarta evaluasi di sakola, tujuan atikan di tingkat mana bae oge sawadina bisa dihontal kalawan lancar. Atikan karakter oge kaasup dina materi anu kudu diajarkeun jeung dipiboga sarta direalisasikeun ku murid dina kahirupan sapopoe. Ngan masalahna, atikan karakter di sakola salila ieu kakara nepi kana tingkatan ngawanohkeun norma atawa ajen-inajen, acan nepi kana tingkatan internalisasi jeung tindakan nyata dina kahirupan sapopoe.
Minangka tarekah pikeun ngaronjatkeun sinkronisasi jeung kualitas atikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional ngararancang grand design atikan karakter pikeun unggal jalur, tingkatan, jeung jenis lembaga atikan. Grand design jadi rujukan konseptual jeung operasional pamekaran, prak-prakan gawe, jeung evaluasi di unggal jalur jeung tingkatan lembaga atikan. Konfigurasi karakter dina konteks totalitas proses psikologis jeung sosial-kultural kasebut dipilah-pilah dina wangun : olah hate (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga jeung kinestetik (physical and kinestetic development), sarta olah rasa jeung karsa (affective and creativity development). Pamekaran jeung implementasi atikan karakter perlu dipigawe kalawan ngacu kana grand design kasebut.
Adumanis : Atikan Kulawarga jeung Atikan Sakola
UU No 20 Tahun 2003 ngeunaan Sistem Pendidikan Nasional Pasal 13 Ayat 1 nyebutkeun yen jalur atikan ngawengku atikan formal, nonformal, jeung informal anu bisa silih lengkepan. Atikan informal nyaeta jalur atikan kulawarga jeung lingkungan. Atikan informal ieu sabenerna ngabogaan kontribusi anu kacida gedena dina ngahontal tujuan atikan, sabab sanyatana murid leuwih loba ‘diajat’ di imah tibatan di sakola. Murid diajar di sakola dina jero sapoe teh ukur 7 jam, atawa kurang tina 30%. Saleuwihna (70%), murid ulukutek di lingkungan kulawarga jeung lingkungan sabudeureunana. Upama ditingal tina aspek kuantitas waktu, atikan di sakola mah ngan mere kontribusi 30% pikeun atikan murid. Ku kituna, sawadina atikan karakter oge dilaksanakeun di lingkungan kulawarga sangka tarekah anu dipigawe di sakola nyambung jeung kahirupan sapopoe boh di kulawarga boh di masarakat.
Hanjakalna, atikan di lingkungan kulawarga salila ieu acan maparin kontribusi anu munel dina ngadukung kahontalna kompetensi sumawona ngabentuk karakter budak. Teu bisa dipungkir, yen danget ayeuna loba kolot anu sibuk ku aktivitas pagawean sapopoe, nepi ka teu aya waktu pisan pikeun nalingakeun nu jadi anak di imah. Di sagedengeun eta, teu saeutik kolot anu teu ngarti cara ngatik ngadidik budak di lingkungan kulawarga, katambah ku pangaruh gaul jeung pangaruh media elektronik, bisa mere pangaruh negatif pikeun kamekaran prestasi budak di sakola. Salah sahiji alternatif pikeun ngungkulan masalah kasebut nyaeta liwat atikan karakter terpadu, nyaeta ngadumaniskeun jeung ngoptimalkeun kagiatan atikan informal lingkungan kulawarga jeung atikan formal di sakola. Dina hal ieu, waktu diajar murid di sakola perlu dioptimalkeun sangkan mutu hasil diajar bisa dihontal, utamana dina raraga ngabentuk karakter murid.
Atikan karakter dina prak-prakanana bisa diintegrasikeun dina pangajaran di kelas. Materi pangajaran anu aya kaitanana jeung norma atawa ajen-inajen dina unggal mata ajar perlu dikembangkeun, dieksplisitkeun, sarta dipakaitkeun kana konteks kahirupan sapopoe. Lantaran kitu, pangajaran ajen karakter henteu wungkul dina tataran kognitif, tapi oge ngawengku internalisasi jeung praktek nyata dina kahirupan sapopoe boh di kulawarga atawa di masarakat.
Media sejenna anu potensial pikeun ngabina karakter jeung ngaronjatkeun mutu akademik murid nyaeta kagiatan ekstrakurikuler. Ieu kagiatan teh minangka kagiatan atikan di luar mata pelajaran pikeun ngabantu ngembangkeun murid luyu jeung pangabutuh, potensi, bakat, jeung minat maranehna liwat kagiatan anu sacara khusus dilaksanakeun ku guru anu ngabogaan kamampuh dina widangna. Liwat kagiatan ekstra kurikuler dipiharep bisa ngembangkeun kamampuh jeung rasa tanggung jawab sosial, oge potensi jeung prestasi murid.
Atikan karakter di sakola oge pakait jeung manajemen sakola. Manajemen dimaksud nyaeta kumaha atikan karakter direncanakeun, dilaksanakeun, jeung diaping dina kagiatan-kagiatan atikan di sakola kalawan nyukupan kana sarat. Manajemen kasebut antarana bae ngawengku ajen-inajen anu perlu diajarkeun, muatan kurikulum, pangajaran, evaluasi, guru jeung tanaga kependidikan, sarta komponen sejenna. Lantaran kitu, manajemen sakola ngarupakeun salah sahiji media anu efektif pikeun atikan karakter di sakola.
Harepan
Atikan karakter sakuduna bisa mawa murid kana pangaweruh inajen sacara kognitif, nafakuran inajen sacara afektif, sarta ahirnya bisa ngalaksanakeun inajen tea dina kahirupan nyata. Masalah atikan karakter anu salila ieu aya di sakola perlu gancang diaji, alternatif solusina kudu gancang diteangan, sarta perlu dikembangkeun sacara leuwih operasional sangkan gampang diimplementasikeun di sakola.
Pikeun guru, atikan karakter sabenerna lain garapan anyar, sabab wujud atikan anu ngawengku etika, moral, jeun budi pekerti ti jaman kurikulum heubeul oge geus aya. Rambu-rambu anu diebrehkeun bedana henteu ganjor, malah eta-eta keneh. Masalahna, kari kumaha ngaplikasikeunana dina pangajaran sangkan atikan karakter anu dimaksud keuna kana sasaran. Sabab aya kalana, lantaran dianggap biasa, dina emprona kaluli-luli. Lantaran kitu, teu aya lepatna Bapa miwah Ibu Guru ngabaladah deui maca padika ngeunaan atikan karakter, sangkan dina prak-prakanana henteu melengkung bekas nyalahan!
Wallahualam, mugi-mugi!
Sumber bacaan utama :
1. Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta.
2. Biantara Wamendiknas dina acara Rembuk Nasional di UPI Jakarta, 1 Juni 2010.
Langganan:
Postingan (Atom)